Disalibkan oleh Media
(Fakta dan Fiksi Tentang Yesus
Sejarah)
C.Marvin Pate & Sheryl
L.Pate
Dalam bab I ini dibahas
mengenai riwayat Jesus Seminar. “The Fellows” (teman-teman). Itulah nama yang
ditetapkan sendiri oleh sekitar delapan puluh ahli Alkitab dari Amerika Utara, yang
mengadakan pertemuan dua kali setahun sejak tahun 1985 sampai 1996. Mereka
mempunyai pandangan mengenai Alkitab yang bersifat ekstrem kiri (menginginkan
perubahan secara besar-besaran). Tujuannya adalah untuk memberikan sebuah
penafsiran baru dan memberikan kumpulan komentar terhadap empat Injil
Perjanjian Baru, beserta Injil Thomas dan Injil Petrus.
Menurut The Fellows hanya 18 persen kata-kata dan
tindakan-tindakan Yesus yang dituliskan dalam Alkitab dianggap autentik. Hasil
ini mereka dapatkan dengan metode pemungutan suara, menggunakan manik-manik
berwarna merah, merah muda, abu-abu dan hitam. Penafsiran The Fellows terhadap
perkataan-perkataan dan tindakan-tindakan Yesus didorong oleh rencana mereka
untuk menemukan kembali pribadi Yesus yang sesuai dengan dunia modern. Ada dua
prasangka yang menggerakkan rencana mereka, yaitu keraguan historis dan
ketepatan politik.
Dalam keraguan historis, Jesus Seminar mengakui bahwa
mereka meragukan keandalan Alkitab secara umum dan Injil secara khusus. Mereka
mengungkapkan keraguan tersebut dalam “Tujuh Pilar Kebijaksanaan Intelektual”,
yang menjadi pengantar untuk dua buku mereka. Tujuh pilar tersebut adalah,
Yesus sejarah bukanlah Kristus iman, Yesus menurut Injil Sinoptik tidak sama
dengan Yesus menurut Injil Yohanes. Injil Markus adalah Injil pertama yang
dituliskan, sedangkan Injil Lukas dan Injil Matius bersumber pada Injil Markus
dalam deskripsi mereka mengenai Yesus, dokumen Q (Quelle berarti sumber)
merujuk pada sekitar 235 pernyataan yang dianggap diucapkan oleh Yesus; dokumen
Q juga digunakan oleh Lukas dan Matius. Berikutnya Yesus bukanlah seorang
pengkotbah Yahudi yang berapi-api yang memberitakan invasi kerajaan Allah,
melainkan seorang filsuf gaya Yunani yang pergi berkeliling palestina untuk
memberitakan rincian-rincian amsal mengenai perlunya orang-orang memperlakukan
satu sama lain dengan adil. Yang keenam, Injil-Injil yang dituliskan dalam
Perjanjian Baru disusun berdasarkan kumpulan-kumpulan cerita tradisi lisan yang
telah beredar di gereja-gereja satu generasi sebelumnya, dan ditambah dengan
legenda-legenda dan mitos-mitos. Ketujuh, tanggung jawab untuk memberikan bukti
bahwa “Yesus Sejarah” adalah “Kristus Iman” sekarang secara langsung terletak
pada orang-orang Kristen konservatif. Merekalah yang berada dalam tekanan untuk
menunjukkan keandalan historis Injil.
Prasangka kedua Jesus Seminar adalah keinginan mereka
untuk menawarkan Yesus yang tepat secara politis. Jesus Seminar menempatkan
Injil Thomas diantara Injil-Injil kanon, bahkan memberikan prioritas diatas
keempat Injil tersebut. Injil Thomas adalah penafsiran ulang aliran Gnostik
pada abad kedua terhadap Yesus.
Bab II
Dalam bab ini dibahas persoalan-persoalan mengenai apakah
Injil Thomas seharusnya menggantikan Injil Yohanes. Itu sesungguhnya merupakan
persoalan siapa yang benar, kekristenan berdasarkan kenyataan sejarah atau
Gnostisisme? Elaine Pagels telah lama mendukung prinsip Gnostisisme dalam agama
di Amerika, dan menulis buku mengenai topik tersebut yaitu Beyond Belief. Pagels menyatakan bahwa Injil Thomas adalah jalan
yang paling menjanjikan untuk kepekaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual
karena ajarannya bahwa kebenaran bukanlah merupakan pewahyuan dari Allah yang
berada di luar individu. Sebaliknya, kebenaran ada di dalam individu, yang
menunggu untuk ditemukan dan dialami. Hal ini kedengaran menarik sebelum orang
memahami apa yang sesungguhnya dimaksud oleh gagasan tersebut karena isi dari
ajaran tersebut adalah bahwa orang Kristen sesungguhnya tidak lain adalah
Kristus itu sendiri, pribadi-pribadi yang diciptakan baru dalam gambar Allah.
Pagels mengklaim bahwa Injil Yohanes dituliskan
semata-mata untuk merusak Injil Thomas yang meningkat pada abad pertama Masehi.
Pagels memang seorang penulis ulung. Meskipun demikian, dia tidak mengungkapkan
bahwa dia termasuk dalam kelompok minoritas para ahli yang menentukan bahwa
Injil Thomas bertarikh abad pertama Masehi, sebuah kenyataan yang sangat
penting untuk argumentasinya. Dia juga tidak menunjukkan gaya hidup aliran
Gnostik, tingkah laku yang merupakan hasil dari sistem keyakinan yang
didukungnya, asketisisme dan / atau libertinisme. Bagaimanapun, kita memberikan
dukungan kepada kekristenan yang didasarkan pada kenyataan sejarah sebagaimana
yang digambarkan dalam Injil Yohanes.
Bab III
Bab 3 memperkenalkan injil-injil
apokrifa Perjanjian Baru kepada kita. Apakah injil-injil apokrifa tersebut
memberikan petunjuk mengenai tahun-tahun yang dilewati Yesus tanpa keterangan
dalam Alkitab? Kita meneliti Proto-Evangelium Yakobus yang mempertahankan
pendapat bahwa Yesus dilahirkan dari seorang anak dara dan bahwa Maria menjadi
seorang perawan seumur hidupnya, maupun injil mengenai masa kanak-kanak Yesus
dalam bahasa Arab (Arabic infansi gospel) dan Injil Matius Semu
(pseu-do-matthew), yang mengklaim bahwa Yesus sewaktu masih kecil dan tinggal
di Mesir sepenuhnya merupakan Anak Allah yang adikodrati sebagaimana sewaktu
Dia dewasa. Yesus kecil seringkali melakukan mukjizat yang kadang-kadang aneh.
Injil Thomas mengenai masa kana-kanak Yesus (infansy Gospel of Thomas)
memfokuskan pada Yesus ketika berusia 5 sampai 12 tahun, dengan memberi
penjelasan mengenai seorang anak yang agak nakal dan seringkali melakukan
mukjizat. Apah dokumen-dokumen ini benar? Haruskan dokumen-dokumen ini
dimasukkan dalam kanon Perjanjian Baru? kesimpulan kita adalah tidak. Walaupun
injil-injil apokrifa menarik untuk dibaca dan bermanfaat dari sudut pandang
untuk memahami kebudayaan, kebiasaan, dan kerumitan kekristenan pada abad
permulaan, injil-injil apokrifa tersebut bertentangan dengan Injil-Injil kanon,
karena cerita yang terdapat di dalamnya jelas sekali merupakan legenda yang
tidak didasarkan pada kenyataan. Meskipun injil-injil apokrifa tersebut di
klaim sebagai tulisan–tulisan yang dibuat pada waktu yang bersamaan dengan
Injil-Injil kanon, injil-injil apokrifa dituliskan lama setelah Injil kanon
ada. Berdasarkan keterangan ini, jelas bahwa injil-injil apokrifa Perjanjian
Baru adalah dampak samping kekristenan tradisisonal, tidak hanya merupakan
kumpulan materi pelengkap tambahan untuk keempat Injil dalam Perjanjian
Baru.
Bab
IV
“Tulang-tulang Yakobus, Saudara Yesus.”
Perdebatan sengit tentang penelitian sebuah peti untuk menyimpan tulang orang
mati yang memuat tulisan, “Yakobus, anak Yusuf, Saudara Yesus.” Sayangnya peti
ini tidak digali oleh ahli atau para arkeolog yang kompeten, melainkan melalui
tangan pedagang barang antik pada tahun 2002. Orang yang pertama kali
membeberkannya adalah Hershel Shanks, editor Bibical Archeological Review, pada tanggal 21 Oktober 2002. Bab ini
mengulas tiga hal : penemuan peti, perdebatan mengenai peti tersebut, dan arti
penting peti kubur tersebut.
Pada akhir musim semi tahun 2002, Oded
Golan sang pemilik peti tersebut mengundang Andre Lemaire, salah satu pakar
dunia terkemuka mengenai tulisan-tulisan Yahudi kuno, untuk datang ke
apartemennya guna memeriksa artefak itu dengan lebih rinci. Setelah memeriksa,
Lemaire menjadi yakin bahwa peti tersebut asli. Setelah pertemuan dengan Golan
pada tanggal 22 Mei 2002. Lemaire menikmati makan siang bersama Hershel Shanks,
editor majalah Biblical Archaeology
Review, dan kemudian dengan ijin dari Golan, dan dengan dua buah foto
bagus, Lemaire menulis artikel tentang peti ini dan kemudian dikirimkan kepada
Shanks.
Mengapa sebuah peti kuno harus
diperdebatkan? Lagi pula, apakah kita sungguh-sungguh memerlukan arkeologi
untuk membuktikan kebenaran Alkitab? Bukankah kita percaya melalui iman dan
bukan melalui apa yang kita lihat? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan bagus, dan
jawabannya adalah ya dan tidak. Tidak, kita sepenuhnya tidak membutuhkan
arkeologi untuk membuktikan kebenaran Alkitab dan ya, kita percaya melalui
iman, dan bukan melalui apa yang kita lihat. Namun, memang bermanfaat bila kita
memiliki bukti yang menguatkan kebenaran Alkitab. Tradisi Yahudi-Kristen adalah
iman yang rasional. Kita mendasarkan keyakinan kita pada fakta sejarah dan bukan
pada fiksi. Disiplin ilmu apologetika selama berabad-abad telah memberikan
pelayanan yang sangat bermanfaat bagi umat Allah dengan membantu menyajikan
bukti yang menguatkan keyakinan alkitabiah kita. Dan arkeologi melakukan hal
yang sama.
Bab
V
Dan Brown, penulis novel The Da Vinci Code, memulai karyanya itu
dengan sebuah halaman yang diberi label “Fakta”, yang mengklaim bahwa semua
gambaran mengenai dokumen-dokumen dalam novel ini adalah akurat. Dalam
novelnya, para tokoh utama menyatakan bahwa Yesus menikah dan memiliki
anak-anak. Selain itu mereka mengatakan bahwa Gereja Katolik telah berbohong
mengenai hal ini dan menutupi fakta bahwa istri dan anaknya lari ke Prancis.
Ada empat kesalahan pokok landasan pemikiran novel ini, yang dibahas dalam bab lima.
Kesalahan pertama, pemikiran Dan Brown
bahwa Injil-Injil yang benar adalah Injil Maria (Magdalena) dan Injil Filipus,
bukan Injil-Injil Kanon. Kesalahan kedua, Yesus adalah seorang manusia belaka
dalam sumber-sumber sejarah paling awal yang kemudian dinyatakan sebagai Tuhan
dalam konsili Nicea tahun 325 M. Hal ini disebabkan oleh taktik penindasan
Kaisar Konstantinus, yang menyensor Injil-Injil (Gnostik) yang muncul lebih
dulu dan menggantikannya dengan empat Injil Kanon. Kesalahan ketiga, Yesus menikah
dengan Maria Magdalena. Pernyataan-pernyataan yang paling menyinggung dalam The Da Vinci Code adalah Maria Magdalena
(Maria dari Magdala, sebuah kota di tepi danau Galilea; Lukas 8:2) adalah istri
Yesus dan melahirkan anak-anak Yesus. Padahal keterangan Injil-Injil mengenai
Maria Magdalena tidak memberikan petunjuk apapun bahwa dia dan Yesus menikah.
Berikut ini adalah keterangan-keterangan tersebut : Lukas 8:2; Markus 15:40-41;
Matius 27:57-61; Yohanes 19:25; Markus 15:47; Matius 27:57-61; Markus 16:1;
Yohanes 20:10-17; Lukas 24:10; Yohanes 20:18. Kesalahan teori Dan Brown yang
keempat adalah, ia mengatakan tipe kekristenan yang paling benar pada
hakikatnya bersifat seksual, yang dimulai dari Yesus dan dilanjutkan oleh
Injil-Injil Gnostik, namun gereja zaman Konstantinus dan gereja-gereja
sesudahnya menyembunyikan kebenaran ini.
Bab
VI
Dalam bab 6, kita menganalisis
pertanyaan,”Siapa yang membunuh Yesus?” Salah satu pernyataan dari para
kritikus film The Passion of the Christ
karya Mel Gibson adalah bahwa film tersebut bersifat anti-Semit.Inti
persoalannya, siapa yang bertangung jawab atas penyaliban Yesus? Sangat penting
di tahap ini, kita mempertahankan kesadaran akan sejarah, dan berusaha
menafsirkan peristiwa-peristiwa seputar kisah penderitaan Yesus seobjektif
mungkin. Kita tidak boleh merevisi sejarah untuk mengingkari peran beberapa
orang Yahudi kuno dalam perlakukan mereka yang buruk terhadap salah seorang
saudara setanah air mereka, Yesus dari Nazaret. Keempat Injil menunjukkan bahwa
para pemimpin Yahudi mempelopori persekongkolan untuk membunuh Yesus (Matius
21:46; Markus 14:1; Lukas 19:47; Yohanes 11:45-57).
Namun orang-orang Yahudi tidak mungkin
dapat berhasil melaksanakan pengadilan dan eksekusi atas diri Yesus tanpa
bantuan orang-orang Romawi, terutama sekali Pilatus. Orang-orang Yahudi
mencampuradukkan hakikat tuduhan-tuduhan mereka terhadap Yesus. Dia adalah
seorang penghujat (Yohanes 19:7) dan seorang pemberontak (Yohanes 19:12).
Tuduhan kedua tersebut otomatis melibatkan Pilatus, karena sekarang Yesus
dituduh sebagai pemberontak.
Kemudian di bab ini juga dibahas
mengenai tiga pandangan yang melihat bahwa : Mengapa Yesus Mati? Teori pertama
yang disampaikan oleh Origen, “Kristus Sang Pemenang”, “Teori Kristus sebagai
teladan yang bermanfaat” dan “Teori Penebusan yang menggantikan tempat manusia.”
Bab
VII
Bab ini meneliti kain kafan Turin dan
pertanyaan penting yang muncul : Apakah kain kafan itu yang dipakai untuk
menguburkan Yesus seperti yang diklaim oleh beberapa orang, atau suatu
pemalsuan ulung atau bahkan mungkin hasil karya seseorang yang beritikad baik
yang ingin menggambarkan penderitaan Yesus melalui lukisan?
Kain kafan dari Turin adalah sebuah
kain linen dengan panjang 4,26 meter dan lebar 1,07 meter. Benang-benangnya
dipintal dengan tangan dan kainnya ditenun dengan pola garis-garis diagonal
yang sejajar. Pada kain tersebut terdapat dua gambar kabur yang berwarna
kekuning-kuningan, yang satu di bagian depan dan yang lainnya di bagian
belakang. Gambar tersebut merupakan gambar seorang pria telanjang yang
tampaknya dicambuk dan disalibkan, dengan kedua tangan bersilang di atas
panggul. Gambar-gambar tersebut kelihatan saling berhadapan, seolah-olah sebuah
jasad telah dibaringkan terlentang pada satu ujung kain yang kemudian ujung
lainnya ditarik untuk menutupi bagian depan.
Dokter Robert Bucklin, seorang ahli
patologi forensik (seorang ahli yang menyelidiki penyebab kematian-kematian
yang brutal) dari Los Angeles, menuliskan laporan lengkap dan dengan rincian
yang sangat detail tentang kematian brutal yang dialami oleh pria yang
dibungkus dengan kain kafan turin ini.
Jika kain kafan Turin ini asli, kain
tersebut akan secara ilmiah membuktikan dua hal : Yesus disalibkan dan Yesus
bangkit dari antara orang mati, seperti yang dikatakan oleh kitab-kitab Injil.
Dengan kata lain, kain kafan turin, kain yang dipakai untuk menguburkan Yesus
akan memberikan bukti penguat untuk cerita-cerita dalam Injil. Namun,
berdasarkan bukti yang disajikan dalam bab ini, kita meragukan keaslian kain
kafan tersebut.
Meskipun demikian, dua pernyataan
diatas mengenai penyaliban dan kebangkitan Yesus tetap benar. Karena kita
memiliki bukti ilmiah dari temuan kerangka seorang pria yang disalibkan di
Israel (lihat bab 6). Kerangka tersebut ditemukan pada tahun 1968 dan
menunjukkan bahwa keterangan kitab-kitab Injil mengenai kematian Yesus cocok
dengan type kematian yang dialami oleh orang Yahudi kuno tersebut yang bernama
Yehohanan. Tulang-tulangnya ditemukan dalam sebuah peti kubur pada bulan Juni
1968 ketika orang-orang Israel sedang meratakan lereng bukit yang berbatu
dengan buldozer yang terletak 1,5km disebelah utara gerbang Damaskus kota tua.
Bukit tersebut diratakan untuk pembangunan apartemen baru. Tempat yang bernama
Giv’at ha-Mivtar (bukit pembagi) tersebut ternyata pada jaman dahulu adalah
area pemakaman Yahudi yang luas yang bertarikh jaman Perjanjian Baru.
Bab
VIII
Apakah persamaan para ahli apologetika
Kristen Frank Morrison, Josh McDowell, dan Lee Strobel? Mereka semua dulunya
adalah orang yang tidak mempercayai kebenaran ajaran kekristenan. Namun, mereka
bertobat ketika mempelajari kisah-kisah Injil mengenai kebangkitan Yesus. Baik
orang-orang percaya maupun orang-orang yang tidak percaya memahami bahwa
prinsip dasar iman Kristen adalah kebangkitan Yesus. Tidak ada sikap netral
dalam perdebatan ini : kekristenan berdiri kokoh atau runtuh berdasarkan
kebenaran kebangkitan Yesus.
Dalam bab ini akan diberikan tiga bukti
umum untuk kebangkitan jasmaniah Yesus Kristus, yaitu : kubur yang kosong
(Matius 28:1-8; Markus 16:1-8; Lukas 24:1-8; Yohanes 20:1-8; dan 1 Korintus
15:3-4), penampakan Yesus pasca kebangkitan (Yohanes 20:11-18, 26-31; Lukas
24:30, 42-43; Yohanes 21:1-15) dan data-data lain yang secara kolektif
membuktikan kebangkitan Yesus.
Kekristenan adalah satu-satunya iman
yang pendirinya mengalami jalan hidup yang sama sekali berbeda. Seperti yang
dikatakan oleh malaikat,”Dia tidak berada disini; Dia telah bangkit.” Ini
adalah sebuah pemikiran yang mengagumkan, pemikiran yang dijunjung tinggi oleh
orang-orang Kristen dan yang memberikan harapan pasti untuk masa depan.
Bab
IX
Dalam bab ini dianalisa hubungan yang
mungkin antara The Lord of the Rings
dan eskatologi, atau akhir zaman. Meskipun Tolkien bersikeras bahwa triloginya
bukan merupakan sebuah karya simbolis, kenyataannya adalah Tolkien berpikir,
berimajinasi, dan menulis sebagai seorang Katolik, The Lord of the Rings menunjukkan tanda-tanda yang jelas mengenai
imannya, sebagaimana yang dikehendaki sepenuhnya. Oleh sebab itu, sulit untuk
mengamati film yang terdiri atas tiga bagian tersebut dan tidak menyadari
persamaan yang mengagumkan antara tanda-tanda zaman dalam kitab-kitab
Yahudi-Kristen dan The Return of the King.
Dengan menafsirkan film-film tersebut,
kita melihat enam persamaan antara ketiga film tersebut (The Fellowship of the Rings, The Two Towers, dan The Return of the King)
dengan akhir sejarah sebagaimana yang digambarkan dalam Yudaisme kuno,
kitab-kitab Injil, dan kitab Wahyu.
Trilogi J.R.R.Tolkien memang disukai
banyak orang, sebagaimana terbukti dengan kepopuleran novelnya, maupun tiga
film yang diadaptasi dari karya ini. Tema utamanya mengenai pertempuran antara
kebaikan versus kejahatan telah membuat orang-orang memberikan dukungan kepada Fellowship of the Ring untuk mengalahkan
pasukan kejahatan. Iman Kristen Tolkien terlihat jelas di sepanjang bagian
novel-novel ini, yang menunjukkan diri melalui persamaan-persamaan yang menarik
antara tulisan-tulisannya dan Alkitab. Keduanya menceritakan kisah dunia sejak
penciptaannya sampai kejatuhan manusia, sampai ke tanda-tanda zaman,
pertempuran akhir, dan kemenangan akhir kebaikan.
Karya-karya Tolkien juga memberikan
dorongan kepada kita untuk mengetahui bahwa sebagaimana tokoh-tokohnya memiliki
kelemahan dan nampaknya tidak mungkin menjadi pahlawan, Allah juga memilih
orang-orang yang memiliki kelemahan, orang yang kelihatannya tidak mungkin
menjadi kandidat untuk memenuhi tujuannya di dunia ini. KekuatanNya dibuat
sempurna dalam kelemahan kita. Kita diberi keberanian oleh kesadaran bahwa
Allah mempunyai sebuah rencana untuk setiap orang di dunia yang tidak sempurna
ini, dengan memberikan kuasa kepada mereka untuk mengalahkan kejahatan dengan
kebaikan, dan dengan demikian, mengubah jalannya sejarah itu sendiri.
Bab
X
Dalam bab ini dibahas mengenai The Bible Code. Asumsi dasar The Bible Code adalah bahwa Alkitab
memiliki lebih banyak hal lain daripada penafsiran harafiahnya. Penafsiran
harafiah adalah awal yang baik, tetapi dibalik teks tersebut, ada pesan
tersembunyi yang harus ditafsirkan. Hal ini terutama sekali berlaku pada
angka-angka dalam kitab Wahyu, seperti tujuh – angka untuk Tuhan, enam – angka
untuk manusia, tiga – angka untuk Allah Tritunggal.Karena kitab Wahyu berisi
simbol-simbol, kitab tersebut menjadi sasaran kajian numerologi.
Michael Drosnin, penulis buku The Bible Code mengklaim bahwa ada kode
peramal masa depan dalam Alkitab yang tidak hanya meramalkan
peristiwa-peristiwa dunia yang terjadi di masa lalu, tetapi bahkan menjawab
pertanyaan pokok : kapan akhir jaman akan terjadi? Penafsirannya dicapai dengan
menggunakan metode pengaturan huruf dengan jarak yang sama antar huruf (ELS).
Apakah Drosnin benar? Walaupun metode ELS mungkin kelihatan sahih untuk
menemukan prediksi-prediksi dalam Alkitab, setelah melakukan pemeriksaan secara
cermat, orang menyadari bahwa dengan begitu banyak kemungkinan kombinasi kata
dalam teks yang panjang, secara statistik agak mudah menemukan
“prediksi-prediksi” mengenai masa depan, bahkan dalam teks-teks non Alkitab.
Dan kemudian, ada masalah variasi dalam banyaknya huruf diantara berbagai versi
Perjanjian Lama yang ditulis dalam bahasa Ibrani. Selain itu, kegagaglan
prediksi Drosnin yang menyatakan bahwa kehancuran akibat serangan nuklir akan
menimpa Israel dan seluruh dunia pada tahun 1996 adalah alasan bagi kita untuk
tidak percaya pada kedua buku Drosnin. Dalam bukunya, The Bible Code II : The Countdown, Drosnin mengubah waktu
terjadinya serangan nuklir terhadap Israel dan pecahnya Armagedon. Jika semula
tahun yang ditentukan adalah tahun 1996, tahun yang ditentukan kembali adalah
tahun 2006.
Setidaknya, pemikiran bahwa Alkitab mungkin
memiliki sebuah kode tersembunyi adalah hal yang menggugah rasa ingin tahu.
Memang menggoda untuk memikirkan bahwa ada prediksi-prediksi yang tersembunyi
dalam teks tersebut. Meskipun demikian, ketika orang mem-pertimbangkan bahwa
ELS telah diterapkan pada sejumlah teks non Alkitab, yang juga menghasilkan
nama-nama dan prediksi, daya tarik kode Alkitab merosot.
Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa,
meskipun menarik, metode ELS sama sekali tidak meyakinkan dalam
pernyataan-pernyataan prediksinya mengenai peristiwa-peristiwa dunia atau akhir
jaman. Penentuan waktu seperti ini berbahaya. Sebaliknya, kita mengikuti
pendapat Yesus, bahwa bahkan DIA tidak tau hari dan waktu kedatanganNya ke bumi
(Markus 13:32)
Bab
XI
Pluralisme dan Kitab-Kitab Injil.
Marcus Borg adalah salah satu tokoh terkenal Jesus Seminar. Dalam bukunya, Meeting Jesus Again for the First Time,
dia menulis mengenai penolakannya terhadap pandangan Kristen konservatif yang
diterimanya ketika dia masih muda. Sebagai gantinya, dia mendukung pandangan
mengenai Yesus yang disampaikan oleh sebagian besar anggota Jesus Seminar, yang
menyebutkan bahwa Yesus tidak memandang dirinya dengan ungkapan mesias, Yesus
hanya sebagai tokoh sejarah yang berani, pengajar berhikmat, nabi sosial dan
pendiri suatu gerakan. Hal ini menggambarkan Yesus sebagai orang yang luar
biasa, tetapi bukan Tuhan.
Sebagai gantinya, Borg memberikan suatu
sudut pandang yang marak dalam kebudayaan Barat – Pluralisme : pandangan bahwa
ada beragam jalan menuju Tuhan, semuanya sah dan tak satupun dapat dipilih
dengan menolak yang lainnya.
Dalam bab ini dibahas dan menjawab
tentang pertanyaan : apakah Yesus merupakan satu-satunya jalan keselamatan atau
apakah ada jalan benar lainnya untuk sampai kepada Allah? Ada empat jawaban
berbeda untuk pertanyaan tersebut. Pluralisme, Univeralisme, Eksklusivisme, dan
Inklusivisme.
Menurut Pluralisme, “kebenaran” setiap
orang dapat diterima; bahwa ada banyak jalan keagamaan menuju Allah yang
sama-sama dapat diterima dengan nama apapun kita memanggil Allah. Pandangan ini
bertenangan dengan pesan Perjanjian Baru : Yohanes 14:6; Kisah Para Rasul 4:12;
Ibrani 1:1-4. Dan kebangkitan Yesus, yang berbeda dengan ketidakbangkitan para
pemimpin keagamaan lainnya, membuat kekristenan terpisah dari semua pandangan
iman lainnya.
Univeralisme, mengajarkan bahwa
kematian dan kebangkitan Yesus secara otomatis menyelamatkan semua manusia.
Slogan pandangan ini adalah, “Kematian Kristus memberikan efek bagi semua
orang,” yang berarti penebusan Kristus sepenuhnya efektif dalam menutupi semua
dosa umat manusia. Pandangan ini mempunyai landasan dari 1 Korintus 15:22.
Walaupun teori ini menarik, teori ini tidak didukung oleh Paulus secara khusus,
maupun oleh kitab Perjanjian Baru secara umum. Jelas dalam Perjanjian Baru
bahwa seseorang dapat berada dalam Kristus hanya melalui iman; seorang harus
secara sadar memutuskan untuk menerima Yesus (Yohanes 3:16-18). Eksklusivisme,
menggunakan pendekatan Roma 1:18 – 2:16, yang menyatakan bahwa baik
“orang-orang tidak beragama” dan “orang saleh” tidak akan luput dari hukuman
ketika hari penghakiman tiba jika mereka belum menerima Kristus. Walaupun hal
ini benar, bagaimanpun juga, itu belum lengkap, sebagaimana yang akan
ditunjukkan oleh teori keempat, yaitu Inklusivisme.
Inklusivisme terkait dengan keyakinan
bahwa Allah akan memberikan lebih banyak pemahaman kepada orang-orang yang
memberikan tanggapan positif kepada kebenaran yang mereka miliki dalam ciptaan,
yang memuncak dalam penyingkapan penuh Injil Kristus. Jadi pendekatan
Inklusivisme terhadap kekristenan dan agama-agama utama dunia adalah : jika
orang-orang menanggapi kebenaran yang ada dalam agama mereka (dengan
mengasumsikan bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah) Allah akan secara
meningkat menyingkapkan lebih banyak pemahaman kepada mereka, yang memuncak
dalam pewahyuan injil kematian dan kebangkitan Yesus untuk keselamatan mereka.
Namun, sudah menjadi keputusan mereka pada tahap tersebut untuk menanggapi atau
tidak menanggapi kebenaran itu. Cara ini nampaknya bagi kita merupakan
penjelasan dari keadilan dan anugerah Tuhan yang bersumber dari kabar baik Yesus
Kristus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.